Kini Lembaran “Kosong” itu Telah Terisi

Lanjutan: “Mengisi Lembaran Kosong # 29 Maret 2012”

Banyumas 29 Maret 2012 ku ikrarkan ijab-qabul itu, kini telah beranjak 2 tahun 7 bulan. Masa-masa senang dan “susah” telah kami lewati bersama istri tercinta Harfiah Retno Sari. Sejak tinggal di Jogja hingga ke Solo, kami pun berusaha bersyukur atas apa yang Allah anugerahkan kepada kami, walau kadang hidup terasa berat akan tetapi keyakinan bahwa Allah itu akan selalu ada untuk hamba-Nya menguatkan kami. Alhamdulillah kini kami dikaruniai 2 orang putri yang cantik dan mudah-mudahan kelak menjadi anak yang shalihah yang menjadi penyejuk pandangan mata bagi kami. Anak pertama kami beri nama Hury El ‘Ain Naazila Decroly (terjemahan bebasnya: Bidadari cantik jelita yang Allah anugerahkan kepada keluarga Decroly). Kemudian anak ke-2 kami beri nama Haniifa Yui Rayyana Decroly (terjemahan bebasnya: Wanita yang lurus agamanya, pengikat kebahagiaan, dan menjadi jalan menuju syurga bagi kami melalui pintu ar-rayyan, pintu syurga orang yang ahli puasa).

Ya Muqallibal qulub tsabbil qalbi ‘ala diinik, semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan kemudahan kepada kami untuk berilmu dan beramal shalih, mencurahkan keberkahan kepada keluarga kecil kami, keluarga besar, kerabat, sahabat serta kaum muslimin sekalian.

Jangan Pernah Matikan Ide

Kata salah seorang rekan saya, “jangan pernah matikan ide”. Dulu sewaktu kuliah S1, aku pernah bermimpi untuk membangun sebuah tempat belajar atau apalalah namanya. Tempat belajar yang asik dan menyenangkan akan tetapi tanpa mengabaikan nilai-nilai pokok agama. Yah aku ingat jelas, ide itu sudah terbesit sejak 8 tahun yang lalu. Impian bocah “ingusan” yang kala itu masih mencoba mengayuhkan kaki selangkah demi selangkah, atau bahkan masih merangkak. Seorang teman menjadi saksi impian itu, kami saling bertukar ide dan menceritakan hal-hal yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.

Seiring berjalannya waktu, Allah pertemukan aku dengan pejuang-pejuang yang memiliki visi yang sama. Mereka menginginkan sebuah peradaban, ya peradaban yang islami. Mungkin saat ini masih tahap awal dan masih berupa embrio, karena cita-cita besar itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan pengorbanan memang, dan bagiku kalaupun langkah kami belum sempurna tetapi kami sudah memulainya. Dan hanya kepada Allahlah kami berharap, Faidza azamta fatawakkal’alallah.

Kisah cinta Si Jomblo dan Si Golput

Akhir-akhir ini pedagang “asongan” pun mulai menjamur untuk membuka lapak di pinggir jalan. Dengan begitu gencarnya dengan “teriakan” untuk mempromosikan dagangannya, ada yang menggunakan kata “Murah…murah…murah meriah” ada juga yang bilang “beli 2 gratis 1”. Bisa jadi memang tren saat ini dengan membuka kios kecil di pinggir jalan, ada yang jualan jus, ada krispi jamur, ada batagor, ada es cendol, ada bakso tusuk dan macem-macemnya. Namanya juga dagang ada yang laris, dan ada juga yang sepi. Konsumennya dari berbagai macam usia, tua muda dan juga anak-anak. Memang enak sih buat tongkrongan malam mingguan, apalagi bagi anak muda yang mereka hobi “pacaran”. Celakanya bagi Si Jomblo yang tidak memiliki teman yang diajakin nongkrong. Jadi saat postingan ini ditulis sedang turun hujan, penulis tidak ngerti apakah ini memang ada korelasinya dengan “do’a si Jomblo”. Tapi itu tidak salah, karena Jomblo itu Pilihan.

Di lain cerita dan tempat yang berbeda ada namanya Si Golput. Kabar yang sedikit “mencengangkan” bakal ada UU yang “memperkarakan” kalau Si Golput ngajakin kencan orang lain. Tapi apapun itu bagi saya pribadi tetap menghargai Si Golput. Pandangan saya Si Golput itu bukan tidak mampu memilih, tapi sebuah pilihan dan merupakan haknya dia.

Saya rasa Si Golput hampir senasip atau bahkan bisa dibilang senasip dengan Si Jomblo. Mereka dianggap tidak mampu memilih, padahal sejatinya keduanya adalah sebuah Pilihan dan hak. Dan sepatutnya kita hargai itu.

NB: mohon maaf bagi para jomblo, tapi saya ucapkan selamat karena malam ini hujan pertanda do’a anda sekalian terkabul 😀

Belajar Menjadi Manusia “Cerdas”

Jum’at, 3 Mei 2013 Masjid Fak. Pertanian UNS pun sesak dipenuhi jama’ah sholat jum’at. Kali ini khotib menyampaikan beberapa pesan yang membuatku seolah “ditampar”, kata yang cukup menggunggah hati “Apa bekal kita, saat pemutus kenikmatan dunia sudah tiba saatnya?”. Hatiku pun menyentak, “Apa bekalmu Vide!”. Dalam setiap ayat Al Qur’an yang disampaikan Khotib mencoba aku resapi, seolah aku berdiri di depan cermin dan aku tahu bekalku pun rasanya belum cukup. Melihat Almarhum Ustadz Jefri saja yang disholatkan sekian banyaknya orang, lantas bagaimana denganku nanti?. Tapi aku masih tidak putus asa, teringat akan kisah Uwais Al Qarni, “Dikenal penduduk langit, tak dikenal penduduk bumi”.

Yah begitulah kehidupan, hati ibarat rambut yang terhampar diluasnya padang pasir terbawa dan terombang-ambing oleh angin, itulah hati selalu berbaolah-balik (Sabda Nabi:dicari sendiri referensinya 🙂 ). Iman yang didalam hati sesorang pun demikian, naik turunnya iman sangat berpengaruh akan kualitas ketakwaan seorang hamba. Teringat pertanyaan Imam Gazhali kepada muridnya: “Wahai muridku, apakah yang paling jauh darimu?”, lantas murid-muridnya pun menjawab dengan berbagai jawaban, “Bulan guru”, “Matahari guru” dan lain sebagainya. Lantas Imam Gazhali pun menjawab: “Wahai muridku, sesungguhnya yang paling jauh dengan kita adalah masa lalu, sebab walau sedetik iapun takkan bisa kembali”.

Benar apa yang dikatakan imam Gazhali, masa lalu takkan pernah kembali dan takkan bisa diulang dan yang ada hanya masa depan. Masa lalu hanya dapat kita ambil ibrohnya untuk perbaikan masa depan.

Ibnu Umar ra. berkata, “Aku datang menemui Nabi SAW. bersama sepuluh orang, lalu salah seorang dari kaum Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “ Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat ”.

(HR. Ibnu Majah)

27 tahun telah berlalu, aku pun tidak bisa mengembalikannya dan memperbaikinya. Namun masih ada masa depan entah itu sedeti, satu jam, satu tahu, sepuluh tahu ataupun duapuluh tahun lagi aku tak tahu. Namun harapan tetap masih ada, selama ada kerja keras dan do’a. Aku ingin sekali menjadi orang yang “cerdas” seperti apa yang dikabarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Bukan seperti kata layaknya orang, harus berlebel profesor, doktor, Master dan lain-lainnya. Walaupun memang tidak ada salahnya apabila aku tetap bisa menjadi profesor yang cerdas.

Allohua’lam

Surakarta, 3 mei 2013

-D3 Teknik Informatika FMIPA UNS-

Mengisi Lembaran Kosong # 29 Maret 2012

“Barakallahu laka wabaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fii khoirin…” inilah do’a yang terucap dari sebagian tamu undangan di hari yang membahagiakan itu. Seakan hari itu bagaikan mimpi, entahlah…

Tak terasa 2 minggu berjalan, tak terasa memang. Dulu saat menunggu hari itu tiba seakan beribu tahun lamanya, namun terjawab sudah do’aku, Alhamdulillah Allah telah halalkan bagiku seorang gadis yang insyaallah terbaik untuk kehidupanku. Dua insan yang berbeda, dengan latar belakang keluarga yang berbeda, pola asuh, pola pendidikan, pola komunikasi dan lainnya itu disatukan dalam satu atap yaitu atap “pernikahan”. Lembaran yang tadinya kosong itu mulai kami isi dengan cerita-cerita baru. Hidup berkeluarga bukan tentang aku ataupun dia namun tentang aku, dia , keluargaku, keluarganya dan masyarakat. Itulah indahnya berkeluarganya, semuanya perlu dijalani dengan keyakinan yang kuat.

Bagi sebagian orang mungkin ada yang mengatakan bahwa “pernikahan” itu adalah sebuah kaliamat, paragraf atau bahakan lembaran-lemabaran kertas yang tersusun  menjadi sebuah buku. Yah itu memang benar, tapi itu adalah proses perjalanannya nanti, namun bagiku “pernikahan” itu cukup satu kata saja yaitu “pernikahan”, walaupun memang nantinya satu kata itu akan menjadi sebuah “kisah” yang berjilid-jilid. Positif thinking saja, putuskan dan jalani saja dengan penuh kebersyukuran dan kesabaran. Satu Hadits Qudsi yang selalu aku pegang adalah “Aku (Allah) seperti apa yang di prasangkakan hamba-Ku”, mungkin kalau dibahasakan dalam bahasa psikologi adalah “positif thinking”. Modal awal adalah Bismillah memutuskan perkara yang besar ini dengan senantiasa memohon bimbingan Allah dan selalu menanamkan keyakinan sekuat-kuatnya bahwa Allah pasti mencukupkan kehidupan kami…

#to be continued…

 

Dari Eropa, Negeri Kincir Angin Mengedukasi Tanpa Menyakiti…

Bismillahirrahmanirrahim…

Kali ini saya akan menceritakan sedikit tentang pengalaman salah satu sahabat baik saya di bumi eropa, sebut saja Mr. Mx. Dia bertanya kepada saya tentang bagaimana menyikapi orang yang berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan makhram (orang yang haram untuk dinikahi). Mungkin secara keilmuan, sahabat saya ini jauh lebih diatas saya terlebih dalam masalah agama lah wong beliau anak seorang Ustadz sedangkan saya hanya orang yang masih “cupu” atau pemula dalam hal agama. Disini sahabat saya bertanya bukan karena tidak tahu melainkan hanya sharing, atau berbagi pengalaman bagaimana cara menyikapi hal demikian. Mr.Mx bertanya kepada saya, kalau dia punya rekan disana seorang perempuan sebut saja prof. Mrs. My. Pada setiap kesempatan prof.Mrs.My ini memiliki kepribadian yang hangat dan ramah. Setiap kali hendak berdiskusi Mrs.My selalu mengajak berjabat tangan untuk memuliakan lawan bicaranya, lantas bagaimana ini?
Mungkin dalam menjawab hal ini saya tidak akan menjawab dengan panjang lebar dalilnya karena saya yakin sahabat saya ini sudah tahu persis dalilnya. Analoginya begini, saya yakin setiap daerah atau wilayah memiliki ciri “budaya” tersendiri dan saya yakin  setiap orang yang bijak akan menghargai “budaya” atau perilaku orang lain. Semisal kalau di jawa kita melewati perkampungan orang dan berpapasan dengan penduduk setempat maka sewajarnya kita menyapa dengan senyuman atau dengan bahasa tubuh lainnya. Atau kalau di eropa ada ritual “cipika-cipiki” yang sudah menjadi sebuah kewajaran saat bertemu lawan jenis, dimana mereka dengan ringannya melakukan hal demikian. Maka dari hal inilah dapat digaris bawahi bahwasannya ISLAM memiliki “kultur” atau bahasa syar’inya adalah “Syari’at” yang perlu dibudayakan dan dilestarikan. Dalam hal ini adalah bagaimana Islam mengatur pola interaksi antar lawan jenis, termasuk dalam hal bersalaman. Memang jujur saja saya pribadi belum bisa sepenuhnya menerapkan untuk menghindari berjabat tangan dengan yang bukan makhrom, namun demikian saya berusaha untuk mengupayakannya. Terlebih setelah saya membaca penjelasan sahabat saya yang lain di Graup FB dalam FORUM PERSAUDARAAN SYARI’AH. Dijelaskan disitu bahwasannya bersalaman antara lawan jenis yang bukan makhrom tidak dibenarkan dalam syari’at atau bahasa “ekstrim”nya Haram mengacu pada dalil-dalil yang shahih berdasarkan penjelasan para ulama’. Memang ada beberapa perbedaan pendapat disini, namun kita juga perlu berhati-hati bukan?

Saat membaca penjelasan-penjelasan tadi saya mencoba berfikir dan mengatur strategi bagaimana sebenarnya cara mengedukasi yang baik namun tanpa harus melukai perasaan orang lain. Nah saya mencoba berfikir “nakal” sedikit, bukannya bangsa-bangsa Eropa dan amerika yang sering menggembar-gemborkan HAM (Hak Asasi Manusia) bukan? Nah jadi karena mereka yang mengkonsepkan adanya HAM maka mau tidak mau mereka juga mau menerima perbedaan dan menghargai “budaya” orang lain termasuk Islam.

Menurut saya, dalam kasus sahabat saya ini dimana rekannya di eropa sana adalah orang yang notabene memiliki latar belakang akademis yang tidak perlu diragukan lagi. Justru saya rasa orang tersebut dapat diajak diskusi secara ilmiah dan terbuka dan apa salahnya kita menjelaskan bahwa “budaya” islam adalah begini dan begini. Dengan demikian merekapun faham dengan apa yang kita yakini, tentunya dengan cara yang baik. Dengan adanya keterbukaan maka informasi dapat tersampaikan dengan baik oleh orang yang tepat kepada orang yang tepat pula. Sehingga tidak menimbulkan prasangka dan opini yang tidak pada tempatnya. Perlu dijelaskan pula bahwasannya untuk memuliakan orang lain khususnya lawan jenis, islam memiliki metode tersendiri. Dan banyak hal yang dapat kita edukasikan kepada khalayak ramai tentang bagaimana pola komunikasi yang baik dengan orang lain. Toh masih banyak hal selain bersalaman guna memuliakan Lawan jenis yang bukan makhrom bukan? Jadi mengapa kita harus malu, tidak percaya diri untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain? kalau kebaikan itu disampaikan dengan cara yang baik, saya kita Insyaallah orang akan menerima kecuali orang-orang yang memiliki penyakit dalam hatinya. Wallahua’lam… 🙂

Muroqobah #ala sepotong kue anak SD

Bismillahirrahmanirrahim…

Bagi mereka yang pernah duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) mungkin cerita ini sudah tak asing lagi dalam ingatan mereka. Bagi saya pribadi yang dari kecil mengang tidak pernah menyentuh pendidikan berbasis keislaman mungkin menjadi sesuaty hal yang baru. Kala itu saya mengikuti kajian Tafsir Al Qur’an yang diampu oleh Ust. Supriyanto Pasir di Masjid Darussalam GPW. Pada kesempatan tersebut beliau menceritakan sedikit tentang pelajaran yang biasa disampaikan di MI pada umumnya. Cerita tersebut biasa tertulis di kitab-kitab klasik yang mungkin pada zaman sekarang ini sudah sangat jarang disampaikan. Berikut isi dari cerita yang disampaikan Ust. Supriyanto Pasir atau sebutan akrabnya Ust. Ucup.

Cerita:

Pelajaran Hari Pertama

Pada suatu ketika dalam sebuah kelas seorang guru menyampaikan topik tentang “MUROQOBAH” secara sederhananya pengertiannya adalah merasa selalu diawasi oleh Allah dalam setiap lini kehidupannya. Kemudian sang guru ini menjelaskan bahwasannya Allah Subhanahu wata’ala adalah Tuhan semesta alam, Ia tidak pernah tidur dan selalu terjaga. Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar. Sehingga tiada satupun kejadian yang luput dari pengawasan-Nya, bahkan dedaunan yang berguguran dimalam hari sekalipun. Sang Guru menjelaskan agar siswanya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga selalu berada dalam kebaikan. Dan pelajaran hari pertamapun selesai.

Pelajaran hari kedua

Pada hari yang kedua terjadi diskusi antara pak guru dengan siswanya:

Pak Guru: Assalamu’alaykum anak-anak…?

Siswa: Wa’alaykumussalam Pak…

Pak Guru: Ok, Sekarang bapak mau tanya, siapakah Tuhan semesta alam?

Siswa: Allah pak guru!

Pak Guru: Lantas siapa yang selalu mengawasi kita setiap hari?

Siswa: Allah pak…

Pak Guru: Baiklah, sekarang bapak ada permainan… Siapa mau ikutan main?

Siswa: Saya pak guru! (murid2 serempak dengan penuh semangat menjawab ajakan pak guru)

Pak Guru: Ok, pak guru sekaran memiliki 20 potong roti, jadi masing-masing kalian akan mendapat jatah 1 potong roti, mau?

Siswa: mau pak guru…

Pak Guru: Bagi kalian yang memenangkan permainan ini akan bapak kasih hadiah, mau?

Siswa: mau pak…

Pak Guru: Sekarang, tugas kalian adalah mencari tempat persembunyian yang paling aman. Kemudian kalian boleh makan kue pemberian bapak kalau tidak ada satupun yang melihat kalian di tempat persembunyian, ok!

Siswa: Okeee!

Pak Guru: Furqon, coba bantu bapak bagi kuenya…

Furqon: ya pak… [ketua kelas]

Pak Guru: Ya, sekarang kalian boleh berpencar untuk mencari tempat persembunyian paling aman. Bapak hitung mundur ya… 4,3,2,1 …mulai! (murid-muridpun berpencar mencari persembunyian paling aman)

Setelah beberapa menit berlalu pak gurupun kembali memanggil murid-muridnya…

Pak Guru: Anak-anak… ayo kumpul lagi…

Siswa: ya pak… (anak-anak beduyun-duyun mendatangi pak guru)

Pak Guru: Anak-anak, apakah akalian sudah memakan kuenya?

Siswa: Sudah pak… (namun ada satu siswa yang menjawab belum, sebut saja namanya Hanif)

Pak Guru: Furqon, kamu tadi bersembunyi dimana?

Furqan: di atas pohon pak…

Pak Guru: Bagus, kamu dimana?

Bagus: di bawah meja pak…

Pak Guru: Sari, kamu dimana?

Sari: dibelakang lemari…

Pak Guru: Apakah waktu kalian makan kue tadi benar-benar tidak ada satupun yang melihatnya?

Siswa: Tidak pak… (Hanif pun terdiam, dan tertunduk lesu)

Pak Guru: Hanif, kenapa kamu kok masih membawa kue yang bapak beri?

Hanif: maaf pak…

Pak Guru: Kenapa kamu? apakah kamu tidak mengikuti perintah bapak tadi?

Hanif: aaa..anu pak, saya sudah berusaha sembunyi tapi masih ada yang melihat saya terus…

Pak Guru: Siapa itu Hanif?

Hanif: Allah pak, jadi kenapun saya sembunyi Allah selalu mengawasi saya jadinya saya tidak memakan kue pemberian bapak…

Pak Guru: Subhanallah, Hanif… kamu benar-benar mengerti dan mengamalkan apa yang bapak ajarkan kemarin…

Hanif: begitu ya pak (dengan muka sedikit senyum lega

Pak Guru: Anak-anak… Jadi pemenang permainan makan kue hari ini adalah Hanif, karena dia sudah mengerti tentang pelajaran MUROQOBAH kemarin. Untuk hari ini cukup sekian ya… Assalamu’alaykum…

Siswa: Wa’alaykumussalam…

Sobat sekalian, dari cerita singkat diatas dapat kita ambil hikmahnya bahwasannya MUROQOBAH adalah hal penting untuk membentengi diri kita dari segala bentuk perbuatan maksiat dan memacu kita untuk selalu beramal Shalih. Kiranya cukup sekian, semoga bermanfa’at. Allahua’lam…

Iklan Layanan Anti Korupsi,Sinergi Dengan Suri Tauladan Nabi

Iklan layanan anti korupsi yang baru-baru ini mulai tayang di televisi membuat saya ingin menulis. Sebenarnya sebelum munculnya iklan layanan tersebut sudah terbesit dibenak saya untuk menuliskan hal ini. Namun baru kali ini saya menyempatkan diri untuk menulis. Memang letak nilai kejujuran harus dibangun dari “pondasi” yang kokoh semenjak usia dini. Dari kecil harus ditanamkan sebuah nilai-nilai kejujuran sehingga hal ini dapat menjadi “long term memory” yang selalu melekat dalam setiap pribadi.

Menilik akan sejarah masa lalu, dimana seorang pemuda yang tumbuh dengan nilai-nilai kejujuran yang melekat pada dirinya. Dialah Muhammad ibn Abdullah, inspirator dan orator terhandal di seluruh belahan dunia dimasanya yang nilai-nilai luhurnya masih mewarnai hingga saat ini. Sifat yang melekat pada beliau adalah sidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Sidiq (dapat dipercaya) adalah karakteristik pertama yang melekat pada diri Nabi Muhammad. Tidak bermaksud mengesampingkan karakteristik nabi Muhammad yang lain, tapi dalam tulisan kali ini saya mencoba mengajak sobat sekalian untuk menelaah lebih mendalam tentang sifat Sidiq.

Kembali kepada iklan layanan anti korupsi, kita bisa lihat bahwa ada seorang siswa yang “hobinya mencontek” akan mempengaruhi karier ke depannya. Mulai dari urusan percintaan, dia berselingkuh kemudian setelah menjadi pejabat dia korupsi. Nah inilah menjadi akar permasalahan yang tidak kita sadari telah mendarah daging di sebagian (entah kecil atau besar) di kalangan masyarakat Indonesia. Saya tidak berani menyimpulkan apakah hal ini mutlak sebagian dari kita “hobi mencontek”.

Mungkin kita bisa sedikit mengingat kembali peristiwa ujian nasional SD di daerah surabaya yang “isunya” ada “insiden” contek-menyontek. Dimana contekan masal ini dilegalkan oleh guru atau orang tua/wali murid. Salah satu sumber (pemberi contekan) yang melapor justru dikucilkan dan disudutkan. Terlebas benar atau tidaknya, kalau begini adanya inilah yang menjadi bahaya “pemupuk” kesuburan “Korupsi” di Indonesia. Secara otomatis pejabat negeri ini akan lahir dari anak-anak SD ini, kalau dari kesekian banyaknya SD ini mempraktikkan hal demikian, alamak sangat bisa dibayangkan bagaimana kondisi negeri ini di masa mendatang. Dan mungkin kita bisa berkaca pada kasus-kasus korupsi di negeri tercinta ini pada saat sekarang ini.

Jadi, dalam tulisan ini saya tidak akan menyalahkan siapapun. Ini menjadi bahan renungan bersama, tulisan ini dapat dijadikan cambuk untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada diri kita masing-masing.

Sepuntung Rokok Untuk Kehidupan

Bismillah…

Sadar tidak sadar kita dikelilingi oleh tangan-tangan yang menengadah untuk sesuap nasi, atau tangan yang telungkup namun sejatinya ia menahan lapar dan dahaga. Bisa kita lihat disetiap perempatan lampu lalu lintas ada wajah-wajah yang mengisyaratkan kepiluan dan kepedihan. Bukan hanya itu, mereka adalah jiwa-jiwa yang kering akan kasih sayang. Ada juga sebagian yang melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan irama-irama kegembiraan namun sejatinya mereka pilu, pedih dan jiwa mereka hambar. Ini baru di segelintir dari banyaknya kisah kehidupan kaum-kaum termarginalkan. Mereka memiliki dunianya sendiri, tak jarang kita sulit menyentuhnya…

Sobat, bisa kita amati bersama berapa banyak puntung rokok itu bertebaran disetiap sudut kehidupan ini. Berapa nilai yang telah dihamburkan menjadi kepulan asap yang mengudara tanpa ada wujudnya, sirna dalam hembusan udara. Setiap kepulan itu ibarat hirupan nafas kehidupan  jiwa. Sepuntung rokok yang tak kita hidupkan akan mengurangi sesaknya paru-paru kehidupan. Sepuntung rokok yang kita gantikan nilainya menjadi sedekah akan membuat wajah-wajah dipinggiran itu menjadi sejatinya senyum, senyuman yang datang dari hati… bukan sekedar topeng yang dibaliknya ada kemuraman.

Allahua’lam…

Seuntai Do’a Untuk Sebuah Senyuman

Bunda, beriring detak jantungmu aku yankin engkau selalu membasahi lisanmu dengan untaian do’a…

Bunda, saat orang-orang meninggalkanku dalam isak tangisan engkau datang dengan senyuman yang menguatkanku…

Bunda, saat aku mulai merangkak engkau menitahku untuk membantuku melangkah…

Bunda, saat aku hanya bisa menangis engkau mengajarkanku untuk “bernyanyi”…

Bunda, saat aku tertatih-tatih dalam berjalan engkau mengajariku berlari…

Bunda, saat aku terjatuh engkau ulurkan tanganmu untuk memapahku…

Bunda, kini aku sudah bisa berlari…

Bunda, kini saat aku terjatuh aku bisa bangkit sendiri…

Bunda, kini aku bisa “bernyanyi” lagu yang aku sukai…

Bunda, ijinkanlah aku untuk berlari dan bernyanyi dengan langkah dan iramaku sendiri…

Bunda, yang kupinta hanyalah seuntai do’a…

Do’a yang membuahkan senyuman… untukku, untuk bunda dan untuk kita semua…

Di Bawah Naungan Kubah Piramid

Masjid Darussalam, GPW

Jogjakarta